Sep
25
Diary of The Garbage Lady (2) : Manisnya gula Indonesia ternyata masih belum semanis seharusnya!
September 25, 2017 | Kelas Tanpa Batas | Comments Off on Diary of The Garbage Lady (2) : Manisnya gula Indonesia ternyata masih belum semanis seharusnya!
Pabrik Gula PT. Madubaru, 23 September 2017
Saya tumbuh di keluarga yang Jawa banget. Salah satu kenangan tak terlupakan tentang eyang-eyang saya adalah definisi mereka tentang prosedur menyeduh teh yang dianggap beradab. Pertama, jangan sekali-kali mendekati teh celup. Menurut eyang saya, teh celup itu “kum-kuman kertas katutan teh” (yang artinya: rendaman kertas yang tanpa sengaja terikut sedikit teh). Jadi yang namanya teh elegan harus diseduh dari daun teh “beneran” yang tidak dikantongi kertas.
Kedua, tehnya harus teh hitam (kita sedang bicara soal tradisi Jawa ya, jadi teh dengan warna-warna selain hitam tidak termasuk scope pembicaraan kita kali ini). Kalau eyang dari Ibu yang Jogja ndeso asli, mereka lebih suka yang plain. Eyang dari Ayah yang dari pantai utara Jawa, cenderung lebih suka yang ada melatinya. Saya kurang tahu hal itu kebiasaan saja atau ada hubungannya dengan nenek moyang masing-masing trah, di mana keluarga Ayah kemungkinan terpengaruh budaya Cina yang sangat kreatif soal teh.
Walaupun ada sedikit perbedaan pada pilihan teh, ada hal yang sama dari kedua jalur itu yaitu prosedur nomor tiga: hidangkan panas-panas dan JANGAN PELIT SOAL GULA. Bagian terakhir sengaja ditulis dengan huruf kapital untuk menegaskan bahwa eyang-eyang saya memandang masalah manisnya teh itu sangat penting, semacam terkait harga diri. Jangan sampai kita dianggap pelit hanya karena menghidangkan teh yang kurang manis. Itulah sebabnya jika kita berkesempatan bertamu atau menghadiri kondangan di pedesaan Jawa, sebaiknya siap-siap mengencerkan hidangan teh atau kopinya dengan air putih. Bisa dipastikan kemanisan tehnya di atas ambang batas toleransi gula untuk tubuh manusia modern yang kurang aktivitas fisik ini. Alhamdulillah eyang-eyang saya itu “atletis” sehingga sehat tanpa diabetes sampai akhir hayatnya.
Kenangan soal “gengsi gula” eyang-eyang saya itu memenuhi pikiran saya saat hari ini petualangan ilmiah membawa saya ke pabrik gula PT. Madubaru di Kasihan Bantul. Harum aroma gula masih tersisa di sudut-sudut pabrik, sisa-sisa dari musim giling yang baru selesai minggu lalu. Saya pribadi tidak terlalu suka manis sehingga selama ini saya tidak terlalu perhatian pada bisnis gula tebu. Apalagi tebunya. Saya hanya ingat bahwa di masa kecil saya, sebagian sawah keluarga kami ikut program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI), sehingga salah satu permainan kami, anak-anak kecil di keluarga waktu itu, adalah ikut eyang buyut ke kebun tebu lalu beliau akan mengupaskan sebatang tebu gemuk untuk kami kunyah-kunyah sementara eyang buyut kami berunding dengan orang-orang dari pabrik gula.
Trademark saya sebagai The Garbage Lady kali ini membawa saya ke urusan limbah industri gula. Sederhananya, cara membuat gula itu dimulai dengan mencuci tebunya, lalu dicacah, digiling sehingga sari tebu terperas keluar, lalu cairan sari tebu dipekatkan sehingga terbentuk kristal, dikeringkan dan berkarung-karung gula pun terdistribusi untuk memaniskan hari-hari kita. Ampasnya dikeringkan di bawah sinar matahari membentuk tumpukan serat kering yang disebut bagas. Bagas ini kemudian dibakar di boiler untuk menghasilkan listrik dan uap panas yang diperlukan dalam operasional pabrik.
Saat ini manajemen PT. Madubaru menggandeng Departemen Teknik Kimia UGM sebagai mitra untuk memberikan masukan tentang kemungkinan-kemungkinan peningkatan nilai tambah dari limbah-limbah yang mereka hasilkan. Sebagai langkah awal, hari ini mereka mengajak saya berkeliling pabrik, termasuk juga melihat kebun-kebun petani yang bermitra dengan mereka sebagai penyedia bahan baku tebu.
Ternyata, bertanam tebu itu tantangannya macam-macam. Mulai dari aspek sosialnya dulu. Pabrik-pabrik gula milik pemerintah pada umumnya tidak memiliki lahan perkebunan tebu sendiri. Mereka menyewa lahan petani dengan kontrak tahunan. Bagi petani, sifatnya opsional apakah dia mau menyewakan lahannya untuk ditanami tebu, sekaligus menjadi pengelolanya, dengan perjanjian subsidi biaya operasional dan bagi hasil dengan pabrik gula. Akibat sifat opsional ini adalah tersebarnya kebun-kebun tebu ini terpisah-pisah petak-petaknya, tidak bisa terkumpul jadi satu. Dengan demikian, mekanisasi menjadi tantangan tersendiri. Alat-alat pemanen tebu yang di negara maju bisa digunakan untuk memaksimalkan pemanenan, tidak bisa serta merta diaplikasikan di Indonesia. Di luar negeri, lahan perkebunan terlokalisasi di satu area luas sehingga mudah mengoperasikan alat-alat mekanis besar. Di Yogya, si alat berat harus melompati pematang, menyeberang parit, dan bahkan menyeberang ruwetnya lalu-lintas jalanan untuk melayani kebun-kebun tebu yang terpencar-pencar itu. Bayangkan jika musim panen tebu tiba, bisa-bisa kita perlu sewa helikopter untuk pergi ke kantor karena jalanan kita dipenuhi mesin-mesin pemanen yang mondar-mandir dari satu petak ke petak yang lain.
Dari petak-petak kebun yang terpencar-pencar itu, jadi muncul dua kelompok kebun, yaitu kebun yang mendapatkan irigasi dan kebun yang tidak mendapatkan irigasi atau sering disebut tegalan. Pada awal masa pertumbuhan, tanaman tebu sangat memerlukan air. Oleh karena itu, kebun dengan irigasi biasanya mampu tumbuh lebih cepat daripada kebun tegalan yang tergantung pada air hujan semata untuk kebutuhan masa pertumbuhan ini.
Bagian kebunnya sama sekali bukan kompetensi saya, tetapi dari cerita petani maupun supervisor kebun PT. Madubaru, saya menyimpulkan bahwa perkebunan tebu rakyat menghadapi banyak sekali masalah inefisiensi. Di bidang yang merupakan kompetensi saya, sebagai produk pendidikan teknik kimia abad ke-20 (akhir), saya terkagum-kagum menyaksikan hasil kerja para insinyur dari generasi jauh sebelum saya. Mulai dari boiler dengan ash pit doors antik sampai crystallizers dengan dinding isolator dari kayu! Walaupun modernisasi sudah dilakukan di sebagian besar komponen proses, jejak-jejak jaman kolonial masih sangat kental di beberapa bagian pabrik. Yang lebih mencengangkan lagi, belum ada kalkulator apalagi komputer pada saat pabrik ini didirikan. Ngitung2nya perlu berapa bulan sendiri itu, sampai jadi detail desain pabrik ini?
Jadi … di akhir hari, catatan perjalanan saya di kebun tebu dan pabrik gula hari ini menyisakan beberapa PR untuk komunitas ilmiah Indonesia dalam hal memaksimalkan manisnya industri gula Indonesia:
- Desain peralatan mekanisasi yang memungkinkan pengoperasian pada petak-petak kecil yang terpisah-pisah.
- Rekayasa genetik untuk menghasilkan varietas tebu yang bisa tumbuh optimal pada kondisi keterbatasan air
- Optimasi desain pabrik gula dan pabrik produk-produk turunannya secara terintegrasi dalam satu kompleks, sehingga emisi limbah dapat diminimalkan karena bisa digunakan kembali dalam close-loop pabrik sendiri, dengan berbagai bentuk (daur ulang air dan energi terbarukan) atau kemunculan produk baru dengan nilai tambah sebagai tambahan profit pabrik.
- Studi sosial tentang persepsi dan ekspektasi para pemangku kepentingan terhadap mekanisme kemitraan pabrik gula dengan para petani tebu.
- Evaluasi regulasi terkait perkebunan dan industri berkelanjutan berbasis sumber daya alam Indonesia.
Saya dan teman-teman Teknik Kimia siap berkontribusi pada No. 3. Kami menunggu teman-teman dari disiplin ilmu lain untuk merapatkan barisan, memaniskan Indonesia melalui optimasi teknologi, pembangunan aspek sosial-ekonomi, dan pematangan regulasi di bidang agro. Sektor ini adalah modal masa depan Indonesia. Jangan sampai justru negara-negara lain yang mendapatkan manisnya, sementara kita bahkan tidak mendapatkan ampasnya sekalipun (karena di negara lain, apa yang kita anggap limbah sektor agro, sudah bisa menjadi komoditas bernilai tinggi).
In every walk with nature one receives far more than he seeks
(John Muir – from brainyquotes.com)
Sep
17
Diary of a Garbage Lady (1): Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
September 17, 2017 | Kelas Tanpa Batas | Comments Off on Diary of a Garbage Lady (1): Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
TPST Piyungan, 5 September 2017
Pada saat kita “membuang sampah”, sebetulnya apa yang kita lakukan? Apakah kita betul-betul melenyapkan sampah kita? Tentu saja tidak. Hukum kekekalan massa menyebutkan bahwa sehebat-hebatnya manusia, kita tetap saja tidak bisa menciptakan massa, bahkan menghilangkannya pun tidak bisa. Yang bisa kita lakukan hanya memindahkan tempatnya. Jadi, kembali ke soal sampah tadi, membuang sampah tidak melenyapkan sampah, tetapi hanya “melenyapkannya dari pandangan kita”. Sampahnya sendiri tetap ada, dia berpindah tempat beberapa kali, sampai akhirnya ditumpuk di lokasi yang kita sebut sebagai Tempat Pembuangan Sampah (TPA). Sekarang kebanyakan namanya berubah menjadi Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST). Tetapi buat saya, penampakan fisiknya tidak berbeda jauh saat masih TPA atau sekarang sudah menjadi TPST.
Sebetulnya saya tidak pernah terlalu memikirkan sampah saya juga selama kurang-lebih 40 tahun hidup saya ini. Saat kemudian nasib membawa pekerjaan saya masuk ke tempat-tempat pembuangan sampah, saya jadi lebih perhatian dengan gaya hidup persampahan saya. Tanpa saya sadari, rata-rata setiap hari saya (selaku salah satu penganut gaya hidup urban) membuang kurang-lebih 0.5 kg sampah dalam berbagai bentuknya.
Sebuah publikasi di medialingkungan.com menyebutkan bahwa di tahun 2025, Indonesia akan “memproduksi” sampah sejumlah 130 ribu ton/hari. Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta memiliki angka “mengerikan” bahwa ternyata ibukota kita itu sangat produktif dalam menghasilkan sampah, yaitu sebanyak kurang-lebih 6000 ton/hari. Wow ….
Di tahun 2007, sebuah pekerjaan penelitian tentang penanggulangan masalah sampah membawa saya ke TPST Bantargebang. Pengalaman tersebut benar-benar tidak terlupakan. Pertama kalinya saya masuk ke TPST, langsung ke lokasi yang tidak tanggung-tanggung. Walaupun TPST ini pernah mendapatkan predikat TPST Terbaik di Indonesia, dengan jumlah “sampah segar” yang terus-menerus disetor oleh Jakarta sebanyak 6000 ton/hari itu, tempat ini tetap saja jauh dari standar kenyamanan.
Yang membuat saya terhenyak adalah kenyataan bahwa ribuan orang hidup dari sampah dan tinggal di lingkungan tumpukan sampah ini. Tidak ada regulasi yang mengijinkan hal semacam ini. Tetapi tidak ada pula enforcement penegakan larangan manusia mendekat-dekat ke area sampah ini. Orang-orang ini, yang jauh kurang beruntung dibandingkan para pembuang seperti saya, berfungsi penting di TPST Indonesia sebagai pemilah sampah. Para “pemilik terdahulu”dari barang-barang sampah ini bahkan tidak peduli untuk memilah. Tanpa orang-orang yang hidupnya bergantung pada seberapa banyak mereka bisa mengais-ngais di TPST, sudah sejak kemarin-kemarin Indonesia jadi headline berita dunia karena negeri kita tertimbun sampah. Itulah uniknya TPST di Indonesia, yang di luar negeri sana disebut landfill site. Di Indonesia, manusia adalah bagian INTEGRAL dari sebuah TPST.
“Pemerintah bagaimana sih? Kok dibiarkan saja?” … itu komentar yang cepat sekali terlontar jika dipresentasikan fakta-fakta mengerikan soal sampah Indonesia. Saya pribadi cenderung merasa kasihan kepada orang-orang yang disebut “pemerintah”. Problem sampah Indonesia sudah terlalu berat untuk dibebankan pada pemerintah. Memang ada porsi yang seyogyanya dilakukan oleh pemerintah. Tetapi masalah utamanya tentunya adalah pada golongan “pencipta sampah”, yaitu KITA SEMUA INI.
Coba cek tempat sampah masing-masing: apakah tidak ada yang bisa kita lakukan, dari diri kita sendiri, daripada mengkambinghitamkan pemerintah?
Silakan “nikmati” catatan visual CLEAN Project tentang sampah kita di tautan berikut ini: Film Clean Project – USAID PEER Science ” Kompleksitas Problem Limbah Organik “
Publikasi ilmiah (link ke paper):